NND’s Story: 2021
CIAT CIAT CIAAAT! *biar agak semangat dikit*
Dua ribu dua puluh satu hampir selesai. Agak kaget sih pas kemarin lihat kalender, “Wow, udah September!” Hehehe. Gimana nih resolusi? Tercapai nggak? Apa malah jadi kecapaian? Yha~
Tahun ini dimulai dengan saya yang nggak bisa diam tiba-tiba kepikiran mau nambah ilmu baru. Bahkan, jujur aja di awal tahun sempat terpikir untuk kuliah lagi. Sempat browsing jurusan yang diinginkan dan biayanya, tapi kok… mendingan buat biaya sekolah dan kuliah anak-anak aja kali ya? Hahahaha.. Terus kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya ‘kan kuliah lagi juga nggak mudah, ditambah ada banyak tanggung jawab di area lain. Jangan sampai cuma jadi keinginan sesaat aja. Belum kelar kuliahnya, sudah keburu tumbang semangatnya. Hiii.. Jangan sampai!
Jadilah, di awal tahun ini diam-diam saya suka galau. Galau ingin mengaktualisasikan diri tapi nggak tahu gimana caranya. Pas banget nggak berapa lama dari situ saya ulangtahun di bulan Maret. Ulangtahun selalu menjadi titik balik di dalam hidup saya yang bikin saya sah menyandang predikat: Overthinker of The Month. CIYEILAH. Hahahaha. Saya berdoa terus minta diberikan petunjuk, hingga akhirnya out of the blue, saya teringat satu nama ustadzah yang paling saya senangi: dr. Aisah Dahlan. Beliau selalu mengkaji agama dari sudut pandang neuroscience, itulah alasan saya suka.
Saya langsung buka Instagram beliau, niat awal mau mencari tahu jadwal kajian beliau, ternyata ada pembukaan kelas menjadi hypnotherapist di sana. Beliau bekerjasama dengan The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH). Wow! Saya langsung cek dan merasa, “Mungkin ini arahan Allah supaya aku ikutan!” Ngomong-ngomong soal hypnotherapy, sebenarnya hal ini sudah saya kenali sejak 9 tahun lalu waktu hamil Une. Saat itu, saya dan suami ikut kelas hypnobirthing yang merupakan salah satu cabang dari hypnotherapy. Buat saya, metode ini ‘kena’ banget di saya. Makanya, ketika tahu dibuka kelas hypnotherapist, tanpa ragu saya langsung mau ikutan!
Saya daftar hari itu juga. Lalu, ikut kelas pelatihan tersebut sekitar 5 hari. Banyak sekali ilmu, metode, dan perspektif baru yang saya dapatkan selama pelatihan. Setiap hari rasanya semangaaat banget, karena ngerasa ini bagian dari cara saya untuk mengaktualisasikan diri. Tanpa beban, tanpa paksaan. And in a blink of an eye, gelar saya bertambah – Certified Hypnotist (CH.) dan Certified Hypnotherapist (CHt.).
Well, mungkin ini yang dinamakan manusia ya… Sudah dapat hal diinginkan, masih aja merasa nggak puas. Setelah dapat gelar CHt., rasanya pengin lagi mendalami hypnotherapy untuk anak. Di bulan April, saya mulai cari tahu tentang hal ini, hingga bertemu dengan The International Society of Paediatric Hypnotherapists (TISPH) yang berlokasi di UK. Lucky me, pembelajaran dan tesnya bisa dilakukan secara online. Untuk bisa bergabung dengan TISPH, pesertanya perlu memiliki lisensi as a certified hypnotherapist terlebih dahulu di negaranya dan kebetulan saya sudah punya! Lagi-lagi, saya langsung semangat daftar.
Tapiii, akhirnya saya daftar berdua dengan teman saya sewaktu kuliah S2 lalu; Denia. Belajar bareng-bareng, ujian bareng-bareng, sampai lulus tes di TISPH ini juga bareng-bareng di bulan Juni kemarin! Alhamdulillah, gelar baru lagi, Dip Hyp (Paediatrics) dan nama kamipun sudah tertera di daftar hypnotherapist anak dalam website TISPH. Rencananya setelah lulus, saya dan Denia ingin memperkenalkan hypnotherapy anak ini agar semakin dikenal banyak orangtua dan menjadi salah satu metode untuk menghadapi masalah pada anak. Namun, qadarullah keadaan pandemi ini malah memburuk bahkan ada beberapa anggota keluarga Denia yang juga menjadi penyintas. Makanya, kami belum sempat brainstorming lagi mengenai hal ini. Soon ya! 😀
Selain hal-hal lain di luar aktualisasi diri, di tahun ini saya tetap menjadi ibu guru dari sekolah virtual anak-anak di rumah. Well, kayaknya ini bagian yang paliiing banyak menyita waktu di tahun ini, apalagi setelah masuk ke tahun ajaran baru di bulan Juli lalu. Sekarang Abang Une kelas 4, mulai banyak sekaliii tugasnya. Weekend yang biasa jadi jadwal ngaso, sekarang jadi jadwal mengerjakan tugas. Ya, bisa dibilang 7 hari dalam seminggu penuh ngurusin hal-hal yang berbau sekolah virtual.
Dari sisi saya sebagai seorang ibu, hal ini lama-lama bikin saya pengin meletus juga sih, hehe. Mungkin karena rutinitas yang berulang setiap hari entah kapan ada ujungnya (walaupun belakangan ada kabar burung sekolah Abang Une mulai ada pertemuan terbatas di akhir bulan ini… ah semoga aja!). Mungkin juga karena akhirnya saya bingung untuk adjust ulang hari-hari saya, karena hampir a whole day harus available nemenin anak-anak sekolah virtual. Rasanya waktu 24 jam tuh kuraaang banget buat diri saya sekarang.
Jadi, mungkin inilah yang bikin saya terlihat agak ‘santai’ di tahun ini. Sebenarnya bukan santai, mungkin lebih tepatnya nggak ngoyo lagi dalam bekerja. Wah, jangan salah, awalnya saya sempat stres karena ingin melakukan segalanya dalam satu waktu. Bisakah? Bisa, but I’m not happy. Saya merasa pekerjaan adalah sebuah keharusan, tidak peduli apa yang terjadi pada diri saya. Namun, saya sadar, ini tidak sehat. Akhirnya, pelan-pelan saya coba memahami kapasitas saya karena saya nggak mau menjalankan pekerjaan dengan setengah hati. Saya pilih betul-betul apa yang bisa saya kerjakan tanpa memaksa lagi untuk bisa menyelesaikan semuanya dalam satu waktu.
Hmm… Mungkin, sebenarnya Allah juga ingin saya beristirahat dan bernafas sejenak dari ambisi saya.
Mungkin, saatnya kembali menulis blog lagi 🙂
Jadiii, sembilan bulan di tahun ini mengajarkan saya banyak warna. Di satu sisi, rasa semangat mengejar hal baru untuk mengaktualisasikan diri. Di sisi lain, pelajaran ikhlas ketika semuanya terasa sangat terbatas. Dan ngomong-ngomong soal resolusi, mungkin di tahun ini agak bergeser dan bukan melulu soal ambisi. Resolusi saya: merasa bahagia dan cukup. Dua hal yang rasanya sangat sulit saya dapatkan dari diri saya yang ambisius.
Oke… Sampai jumpa di cerita selanjutnya! 😀
Always Love,
Aninda – The-A-Family
1,163 total views, 1 views today