Parenting: Apa sih Terrible Twos itu?

Memasuki usia dua tahun, banyak sekali perubahan yang terjadi pada perkembangan anak dan biasanya perubahan ini lebih pesat dan ‘terlihat bedanya’ daripada tahapan perkembangan sebelumnya. Misalkan, di umur ini anak mulai jelas membahasakan apa yang mereka inginkan, sedangkan di umur sebelumnya belum. Di umur ini juga, anak mulai berani sehingga ketika melakukan sesuatu tidak mau dibantu. Mulai bisa protes, mulai bisa membangkang, yang akhirnya membuat orangtua bingung, “KENAPA SIH NIH ANAK?” Tidak sedikit yang akhirnya menganggap masa usia dua tahun disebut sebagai Terrible Twos. Is it terrible? REALLY?

Bagi Buibu yang pernah kuliah psikologi, pasti pernah ‘menyicipi’ hal ini di materi kuliah Psikologi Perkembangan. Waktu saya kuliah S2 Psikologi Anak Usia Dini (Terapan), hal ini dibahas lebih dalam dan banyak sekali hal-hal yang tadinya saya kurang ngeh dan nggak mudeng, jadi lebih paham sekarang. Agar lebih mudah, saya breakdown pembahasannya menjadi karakteristik anak usia dua tahun dan perkembangannya dilihat dari 3 area (fisik-motorik, kognitif-bahasa, dan sosial-emosi). Tapiii, karena ini bukan kuliah jadi saya membahasnya dengan ringan dan cepat aja ya, yang penting terangkum semua. Cus!

 


Karakteristik Anak Umur 2 Tahun

  • Menurut teorinya Freud: anak sudah mulai masuk di fase anal. Pada fase ini, fungsi tubuh anak sudah bisa membedakan kapan mereka ingin BAK atau BAB. Setelah BAB dan BAK pun, anak sudah bisa merasa puas atau lega.
  • Menurut teorinya Erikson: anak masuk ke dalam tahapan autonomy VS shame and doubt. Perhatikan deh, anak usia dua tahun pasti lagi sotoy-sotoynya pingin semuanya dilakukan sendiri, makan sendiri, mandi sendiri, pokoknya semua pingin dia eksplor pakai tangan sendiri. Pertanyaannya, ini salah nggak? Nggak dong, fase ini ada dan pasti dilalui setiap anak. Melalui fase ini diketahui bahwa anak pingin banget belajar mandiri. Jika orangtua bisa menempatkan pengasuhan yang pas dan mampu mendukung hal ini, kelak anak bisa tumbuh menjadi anak yang mandiri. Sebaliknya, jika anak sedikit-sedikit dilarang atau orangtua terlalu banyak berkomentar negatif pada anak (misalnya: “Aduuuh kamu tuh masih kecil, mana bisa makan sendiri? Nanti tumpah-tumpahan”), anak akan tumbuh jadi pribadi yang ragu dan malu pada dirinya sendiri.
  • Menurut teorinya Piaget: anak usia dua tahun belum bisa memahami perspektif orang lain, yang dia tahu ya hanya perspektifnya dia aja. Hal ini dinamakan egocentrism. Egocentrism biasanya muncul pas si anak harus bersosialisasi dengan anak lain, contoh simpelnya aja: nggak mau ngalah, nggak mau gantian, nggak mau berbagi. Hal ini sebenarnya nggak salah, karena memang tahapan perkembangan anaknya juga lagi seperti itu kok. Nah sekarang, tugas orangtua adalah memberi tahu secara konsisten mengenai hal tadi (perlu mengalah/perlu bergantian/perlu berbagi) dengan cara yang menyenangkan (melalui cerita) dan di saat yang dapat diterima anak (saat anak tidak tantrum misalnya).
  • Menurut klasifikasinya Chess and Thomas: setiap anak memiliki sebuah temperamen. Temperamen inilah yang menjadi latar belakang bagaimana anak berperilaku dan merespon secara emosi terhadap lingkungannya. Ada tiga tipe temperamen, yaitu: easy child (emosi anak cenderung stabil, langsung anteng dan nurut saat melakukan kegiatan sehari-hari, dan mudah beradaptasi terutama dengan hal baru), difficult child (emosi anak gampang banget berubah jadi negatif (biasanya ditunjukkan jadi gampang nangis atau tantrum), suka membangkang dan nggak mau melakukan kegiatan sehari-hari, dan sulit banget beradaptasi sama hal baru), dan slow-to-warm-up child (everything in between, dibilang easy juga nggak tapi dibilang difficult juga nggak). Hal ini perlu banget sih diketahui sama orangtua supaya orangtua jadi tahu triknya menghadapi si anak. Caranya hanya tinggal dicek aja dari respon sehari-hari si anak tuh gimana dan kira-kira dia masuk ke tipe temperamen yang mana.

 


Perkembangan Anak Usia 2 Tahun

Fisik dan Motorik

Secara fisik dan motorik, terjadi loncatan perkembangan yang cukup tinggi daripada perkembangan di usia sebelumnya. Postur tubuh anak usia ini sudah mulai terbentuk dan biasanya gigi susunya pun sudah lengkap. Dari segi motorik, anak sudah bisa berjalan tanpa dipegangi, bisa berlari dan mengerem (walaupun kadang masih suka ‘kecolongan’ hehehe), bisa melompat walaupun belum seimbang, bisa duduk sendiri, bisa makan sendiri, dan masih banyak tugas perkembangan lainnya yang sudah mampu dilakukan anak usia 2 tahun. Terkadang orangtua hanya melihat dari bungkusnya saja (“Anakku sudah bisa ini, sudah bisa itu”), tapi lupa kalau dia tetaplah anak usia dua tahun yang masih sangat butuh untuk didampingi.

 

Kognitif dan Bahasa

Bagaikan spons, otak anak usia dua tahun ini sedang berkembang dengan cepat. Apapun yang dia lihat, maka hal tersebut langsung ‘masuk’ ke otaknya. Oleh karena itulah, usia dua tahun ini merupakan saat yang tepat untuk mengajak anak bermain sambil belajar. Hah, kok belajar? Belajar di sini lebih ke stimulasi perkembangan dan inderanya aja kok. Misalnya: pengenalan rasa manis dan asin, bermain membedakan warna bola, bermain pura-pura (dokter-dokteran atau kasir-kasiran), dan masih banyak lagi. Untuk anak usia dua tahun, hal ini bukan sekedar bermain lho, tapi juga bagian dari belajar. Mudah tapi seru, ‘kan?

Dari segi bahasa, terjadi peningkatan yang signifikan. Kosa kata yang dimiliki anak sudah cukup banyak dan artikulasi dalam menyampaikan kata-kata tersebut sudah cukup jelas sehingga mampu untuk dimengerti orang lain. Anak usia dua tahun sudah bisa merangkai kalimat yang terdiri dari 5-6 kata. Canggih, ‘kan? Meskipun untuk beberapa anak, keterampilan berbahasa ini masih butuh dibantu oleh orangtua. Orangtua bisa membantu dengan sering mengajak anak mengobrol, baca buku cerita, bertanya pada anak, dan bermain kata.

 

Sosial dan Emosi

Ada 3 hal yang jadi fokus di ranah sosial dan emosi usia ini:

  • Get to know the emotions: anak usia dua tahun sudah mulai bisa membedakan emosi yang terjadi pada dirinya. Nah, orangtua bisa ajak anak untuk semakin mengenal emosi yang dirasakan, misalnya: “Oh, adik nggak mau pegang kataknya ya. Iya, itu berarti adik jijik.” atau “Kenapa nangis? Adik sedih ikannya mati, ya? Iya, adik sedih ya… Nggak apa-apa sayang..” Diharapkan dari hal ini anak akan mudah memilah emosi yang dia rasakan dan bisa belajar untuk membahasakan emosi tersebut. It’s fine if someone had a bad day and didn’t want to talk about it, tapi kalau pada kasus anak biasanya mereka akan uring-uringan tidak jelas atau bahkan tantrum. Tidak mau itu terjadi, ‘kan? So it’s better to let them talk. Hal ini secara signifikan bisa banget ngurangin tantrum, karena anak jadi terbiasa untuk membahasakan apa yang ia rasakan dibanding tantrum (as I did to my oldest, he had never been tantrum).
  • Dealing with frustration: hal ini biasanya terjadi saat anak merasa tidak berhasil melakukan sesuatu yang dia lakukan, dia tidak mengerti dan cenderung marah. Ingat, di usia ini anak lagi kepingin-pinginnya melakukan sesuatu dengan mandiri, tapi kita sebagai orangtua perlu tahu banyak perkembangan anak yang belum matang sempurna. Misalkan, anak ingin berjalan sambil membawa gelas berisi air. Anak tidak tahu kalau berjalan sambil membawa gelas berisi air itu tidak mudah, harus seimbang, harus ada koordinasi mata dan tangan, dan ternyata semua hal tersebut belum ‘matang’ di diri anak. Alhasil, airnya tumpah dan anak marah karena merasa tidak berhasil. Cara singkat yang dapat dilakukan orangtua: empati (“Iya tumpah ya, adik pinginnya bisa bawa dan airnya nggak tumpah ya..”) dan dukungan (Tapi nggak apa-apa kok sayang, ini ‘kan cuma tumpah, bisa dielap kok. Nanti kita isi air, kita coba lagi ya.”).
  • Tantrum: pasti sudah akrab ‘kan dengan kata ini? Hehehe.. Tantrum adalah cara anak untuk mengekspresikan frustrasi atau marahnya. Apa yang biasanya dilakukan? Merengek sambil menangis, marah, menghentak-hentakan kaki, guling-gulingan di lantai, memukul, menendang, berteriak-teriak, mengencangkan tubuhnya sambil menangis keras, dan tindakan agresif lainnya. Lho, kenapa bisa begitu? Karena anak tidak bisa membahasakan apa yang dia rasakan, ada hal fisiologis yang dia rasakan (mengantuk, lapar, atau sakit badannya), ingin mendapat perhatian atau manipulatif (supaya dibelikan mainan atau supaya dituruti keinginannya), atau tantrum malah sudah menjadi kebiasaan. Nah, that’s why, perlu adanya niat dan action dari orangtua untuk meminimalisir terjadinya hal ini, karena somehow tantrum ini pasti berhubungan juga dengan pola parenting yang tidak sesuai.

 


So, apakah setiap masa usia dua tahun SELALU akan menjadi Terrible Twos? Jawabannya: tidak. Kesempatan untuk menjad terrible pastinya ada karena ini didukung oleh tahap perkembangan anak itu sendiri, tapi orangtua juga punya andil untuk membuat hal ini menjadi tidak terrible. Pesan saya, sebelum berhubungan dengan anak usia dua tahun selalu posisikan diri kita menjadi diri anak tersebut (bagaimana kira-kira pola pikir anak umur dua tahun, bagaimana kira-kira cara bersikap anak umur dua tahun, dst), agar kita bisa lebih memahami apa yang sebetulnya terjadi dengan diri anak 🙂

Jujur, saya pribadi lebih suka masa-masa usia dua tahun ini dibandingkan dengan usia sebelumnya, karena menurut saya anak di usia ini sudah mampu mengerti dan bisa diajak berdiskusi. Oh ya, ada dua hal lagi yang khas anak usia dua tahun: Menyapih dan Toilet Training, saya akan bahas hal ini nanti ya setelah Ayra berhasil melewati dua-duanya, hehehehe. Sejauh ini menyapih belum dilakukan sama sekali (ehehehehe #mamakgalau) dan Toilet Training masih memakai diaper saat pergi dan tidur malam saja.

Saya lebih senang masa usia dua tahun ini disebut sebagai The Wonderful Twos, because it is. And trust me, someday will miss this journey 🙂

 

 

Always Love,

Aninda, S.Psi, M.Psi.T. — The-A-Family

 

 9,611 total views,  1 views today

The-A-Family

A family that starts with an A.

 9,612 total views,  2 views today

Other posts

Leave a Reply